Sleman – Jumat lalu (11/03), Himpunan Mahawasiswa Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota kembali menggelar diskusi tematik. Bekerja sama dengan PermaBlitz Jogja, HMT PWK menggelar sebuah acara bertajuk “bedah film Inhabit Permaculture” di Gedung Tedjo Suminto, Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan (DTAP). Permablitz Jogja sendiri didirikan pada tahun 2013. Eksistensi komunitas ini bermula dari kunjungan beberapa penggagas ke permaculture institute di Bumi Langit. Blitz merupakan sebutan untuk kegiatan rutinnya. Tentu, kegiatan yang dilakukan adalah membuat atau me‐maintenance kebun komunitas, community workshop, dan makan bersama dari hasil panen kebun sendiri. Komunitas ini diwakili oleh Mbak Astrid dan Mbak Rani sebagai fasilitator bedah film dan diskusi kali ini.
Secara singkat, permaculture dapat diartikan sebagai sebuah teknik berkebun. Tetapi dalam perkembangannya, permaculture didesain menjadi sebuah filosofi yang mendalam tentang bagaimana setiap manusia, atau kelompok manusia menciptakan ekosistem terpadu untuk memproduksi pangan secara mandiri. Konsep permaculture ini pertama kali di gagas di Melbourne oleh David Holmgren dan Bill Mollison. Bill Mollison, co‐founder permaculture, mengatakan bahwa ini merupakan solusi yang sederhana di tengah permasalahan manusia yang semakin kompleks.
Acara siang hari itu dibuka dengan sambutan oleh Bapak Didik Kristiadi, MLA,MAUD, selaku dosen DTAP yang memiliki concern dalam bidang food sensitive planning dan permaculture. “Agriculture urbanism dengan pendekatan sustainable food adalah pendekatan perencanaan yang cocok untuk diimplementasikan saat ini” kata beliau. Menurutnya, konsep ini dapat diterapkan di mana saja, salah satunya adalah rumah dengan konsep minimalis, sehingga ruang‐ruang sisa yang “tidur” dapat memiliki nilai lebih.
Inhabit Permaculture menceritakan tentang teknik‐teknik bercocok tanam yang dapat dilakukan di berbagai situasi. Misal, membuat ekosistem produktif di lahan yang berbatu. Atau menciptakan taman di atap rumah. Bahkan tips melakukan pengairan tanpa listrik, hanya menggunakan gravitasi. Film ini mengajarkan bahwa tidak ada hambatan dalam menciptakan makanan sendiri, apapun hambatannya. “Permaculture bertujuan mendesain ekosistem agar sistem alam dapat bekerja, itu intinya” ucap Ben Falk, seorang konsultan desain di Vermount, New England, dalam film ini.
Di sesi diskusi, salah seorang peserta diskusi mempertanyakan peran kita dalam membantu para petani untuk terhindar dari tengkulak dan rendahnya pendapatan petani. “Persoalannya adalah kita masih memiliki mindset bahwa petani itu miskin, petani itu rendah. Hapus mindset itu dari pikiran kita” jawabnya. Dia menambahkan pentingnya menjaga keberlanjutan farm’s market yang sudah ada di wilayah DIY. “Bagi saya, lebih mending saya beli sayur dari farm’s market, daripada di supermarket. Sudah jelas hasilnya dari siapa, uangnya ke siapa, dan kita tau mensejahterakan siapa.” tambahnya lagi mengakhiri jawabannya.
Kegiatan kali ini merupakan momentum awal untuk mengajak seluruh DTAP membuka kebun permaculture di lingkungan kampus. Bu Antung, salah seorang dosen DTAP dan penggiat permaculture menutup kegiatan ini dengan menginformasikan acara lanjutan yang akan diadakan kembali untuk menginisiasi kegiatan ini.
Ditulis oleh : Muhammad Fachri Ardiansyah