Pada Hari Kamis (25/02) kemarin Himpunan Mahasiswa Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota (HMT PWK) Universitas Gadjah Mada, Pramukya Arcapada, menyelenggarakan acara diskusi bertajuk “Eksistensi Cagar Budaya di Tengah Modernisasi Kota Yogyakarta”. Acara ini menghadirkan Elanto Wijoyono, aktivis kegiatan “Jogja Ora Didol”, sekaligus orang yang sempat populer beberapa waktu yang lalu karena memberhentikan konvoi motor gede di Ring Road Utara Yogyakarta, sebagai pembicara.
Diskusi yang diikuti sekitar 30an mahasiswa di Tedjo Soeminto, Inner Court Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan UGM, tersebut dibuka Mas Elanto ini dengan menampilkan permasalahan-permasalahan terkait perlindungan Bangunan Cagar Budaya (BCB) di Yogyakarta. “Kita terlalu sibuk mengklasifikasikan mana bangunan cagar budaya dan mana bangunan yang bukan cagar budaya”, katanya membuka diskusi. Menurutnya, pelestarian bangunan cagar budaya tidak perlu melihat kecagarbudayaannya, melainkan dengan melihat manfaat dari sebuah bangunan tersebut bagi generasi selanjutnya. Bahkan bangunan yang baru pun bisa menjadi BCB di masa depan.
Selanjutnya, Mas Elanto menyoroti permasalahan yang timbul karena konflik penggunaan lahan BCB. Banyak sekali BCB di Indonesia, khususnya di Kota Yogyakarta, yang dihancurkan untuk kepentingan bisnis pihak-pihak tertentu. Dari beberapa yang dicontohkan oleh Mas Elanto salah satunya mengenai pendirian Ambarukmo Plaza (Amplaz). Pendirian Ambarukmo Plaza yang dimulai pada tahun 2004 sangat disayangkan oleh para aktivis arkeologi pada saat itu. Mereka melakukan aksi-aksi untuk menolak pendirian Ambarukmo Plaza tersebut, mengingat tanah tempat berdirinya Ambarukmo Plaza merupakan pesanggrahan keraton, tempat wafatnya Sultan Hamengkubuwono VII, yang tentunya memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi terutama bagi kesultanan Yogyakarta.
Konflik mengenai cagar budaya lainnya yang diangkat yakni mengenai Yap Square dan Jembatan Kewek. Menurut Mas Elanto, Yap Square dulunya merupakan tanah milik keraton (Sultan Ground) akan tetapi sekarang justru digunakan untuk kepentingan bisnis. Sedangkan kasus Jembatan Kewek, secara bangunan tunggal jembatan yang terletak di atas Kali Code dan sebagai tempat perlintasan rel kereta api dari Stasiun Tugu dan Stasiun Lempuyangan ini memang bukan merupakan bangunan cagar budaya (BCB), akan tetapi bangunan jembatan ini terletak di kawasan cagar budaya Malioboro. Permasalahan yang disoroti oleh Mas Elanto yaitu mengenai komersialisasi dinding Jembatan Kewek untuk “papan iklan” oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Selain masalah-masalah tersebut masih banyak lagi masalah lain mengenai BCB di Yogyakarta, antara lain seperti bangunan rumah Tiongkok di Pajeksan yang sekarang berubah menjadi hotel, Kota Baru yang belum masuk daftar kawasan cagar budaya, dan perobohan gedung sekolah di kawasan cagar budaya untuk didirikan hotel.
Selanjutnya diskusi mengarah pada regulasi dari penyelenggara negara, dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah, tentang perlindungan bangunan cagar budaya. Menurut Mas Elanto regulasinya masih lemah. “Seperti kasus Yap Square, kawasan tersebut sebenarnya sudah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya pada tahun 2007 berdasarkan SK Menteri Pariwisata dan Kebudayaan akan tetapi dengan mudahnya SK tersebut diubah oleh salah satu pejabat setingkat Eselon III di kementerian terkait untuk mempermudah proses alihfungsi lahan bangunan di tahun 2010. Pemerintah pun dianggap pasif dalam melakukan perlindungan bangunan-bangunan cagar budaya. Pemerintah cenderung hanya menunggu laporan masyarakat, tidak melakukan pergerakan untuk mengawasi bangunan cagar budaya. Padahal peran pemerintah sangat diperlukan untuk melakukan pelestarian bangunan cagar budaya.
Diskusi berjalan semakin menarik ketika salah seorang peserta diskusi menanyakan tentang konflik antara pelestarian cagar budaya dan kebutuhan ekonomi. Peserta menanyakan bagaimana bisa dua hal yang saling kontraproduktif bisa disatukan, mengingat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, yang merupakan satu dari trisula penataan ruang (ekonomi, sosial, dan lingkungan), terkadang harus mengorbankan bangunan-bangunan maupun kawasan cagar budaya. Apalagi terkadang bangunan tersebut tidak digunakan sama sekali. Untuk menjawab pertanyaan tersebut Mas Elanto menjelaskan bahwa konsep pelestarian bangunan dan kawasan cagar budaya tidak hanya menjaga bangunan agar tetap ada, melainkan juga pengembangan dan pemanfaatan.
Sebagai penutup diskusi, Mas Elanto menitipkan pesan kepada peserta diskusi untuk menjaga bangunan dan kawasan cagar budaya agar tetap lestari. “Negara cenderung bermain-main dalam melakukan perlindungan terhadap bangunan dan kawasan cagar budaya”, ucapnya. “Oleh karena itu saya harapkan temen-temen dari Perencanaan Wilayah dan Kota yang nanti duduk di kursi pemerintahan dan menjadi pejabat publik tidak lupa terhadap perlindungan bangunan dan kawasan cagar budaya,” tutupnya.
Ditulis oleh: Lestyanto Cahyadani