Header Image by UoM
Pada tanggal 30 Januari 2017, Program Studi Magister Perencanaan Kota dan Daerah (MPKD) bekerjasama dengan S1 Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Gadjah Mada mengadakan kuliah perdana pembuka semester genap dengan topik Habitat III dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Perencanaan di Indonesia.
Kuliah perdana ini melibatkan dua pembicara yaitu Dr. Ruchyat Deni Djakapermana yang merupakan Staf Ahli Dirjen Cipta Karya Bidang Habitat dan Perkotaan serta Prof. Bakti Setiawan selaku ketua Program Studi MPKD UGM. Kuliah tersebut dimoderasi oleh Ketua Program Studi S1 Perencanaan Wilayah dan Kota UGM, D.Eng M. Sani Roychansyah.
Kuliah yang juga dibuka untuk umum tersebut dihadiri oleh para mahasiswa perencanaan serta profesional di bidang perencanaan. Kuliah perdana pembuka semester genap kali ini mengambil topik terkait dengan Habitat III dan Agenda Baru Perkotaan (New Urban Agenda – NUA) sebagai sebuah isu yang sangat hangat di bidang perencanaan kota.
Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup aktif dalam proses negosiasi NUA. Melalui Prepcom III pada bulan September 2016, Kota Surabaya menjadi tuan rumah dalam menyiapkan rancangan NUA. Rancangan tersebut kemudian disepakati dan disahkan di Bulan Oktober pada acara puncak Habitat III di Quito, Ekuador.
NUA yang telah disahkan terdiri dari 175 agenda dan terbagi menjadi (1) Deklarasi Quito dan (2) Implementasi Quito. Hasil dari kesepakatan tersebut pun dapat diakses dan diunduh oleh publik melalui website resmi Habitat III.
Pada sesi pertama, Dr. Ruchyat Deni menyampaikan gambaran umum dari proses dan hasil pertemuan Habitat III. Beliau menyampaikan bahwa Habitat adalah misi seluruh negara di dunia untuk mengatasi persoalan-persoalan permukiman dan perkotaan. Seluruh negara berkomitmen bersama dalam United Nations untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Sebelum Habitat III, sudah dilaksanakan Habitat I pada tahun 1976 dan Habitat II pada tahun 1996.
Tujuan konferensi Habitat III ini antara lain: (1) Menjamin komitmen secara politik tentang pembangunan perkotaan berkelanjutan, (2) Menelaah pencapaian agenda habitat dalam mengatasi kemiskinan, (3) Mengidentifikasi dan mencari jawaban atas tantangan baru pembangunan perkotaan yang muncul. Indonesia mengutus 3 orang tenaga ahli untuk berpartisipasi dalam Habitat III tersebut.
Dalam mendukung realisasinya, NUA juga dilengkapi dengan perangkat implementasi yang disebut Quito Implementation Plan. Beberapa rencana implementasi quito di Indonesia adalah komitmen transformatif dan implementasi nyata. Stakeholder yang berperan dalam implementasi tersebut juga terdiri dari berbagai sektor: (1) Pemerintah nasional : menyusun peraturan dan kebijakan perkotaan, (2) Pemerintah daerah : implementasi New Urban Agenda di tingkat lokal, (3) Swasta : memberikan masukan untuk kebijakan perkotaan, kerjasama kemitraan, dan mendukung upaya pembiayaan, (4) Masyarakat : sebagai aktor utama pembangunan yang berperan aktif, (5) Ahli : mendukung riset-riset untuk perumusan kebijakan.
Sesi kedua diisi oleh Prof. Bakti Setiawan. Beliau menyampaikan pandangan-pandangan kritis terkait dengan Habitat III dan New Urban Agenda yang muncul dari banyak akademisi dan aktivis. Kritik tersebut meliputi : (1) Pendekatannya NUA dipandang sebagai urban bias, (2) Filosofinya terlalu universal – tidak kontekstual, (3) Pendekatannya dicurigai sarat muatan ideologi kapitalistik, (4) Aspek/dimensi kulturnya kurang karena terlalu bersifat universal, (5) Kurang aspek/ dimensi keadilan, (6) Belum ada program yang secara eksplisit membicarakan penguatan kapasitas pelaksana pembangunan (SDM) di tingkat lokal sebagai upaya implementasi NUA.
Prof. Bakti Setiawan juga mengaitkan agenda NUA dengan posisi Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia (ASPI) dan sekolah perencanaan yang ada di Indonesia. Beliau menyampaikan bahwa Tugas ASPI adalah ‘how to produce critical, reflective, practicional planner’ yang juga humanis.
ASPI sudah meluluskan 21.000 alumni dari 52 sekolah dan setiap tahunnya bisa meluluskan 1.500-2.000 alumni. Sangat disayangkan apabila ASPI hanya meluluskan perencana yang seperti “robot”, tetapi harus kritis dan peduli dengan isu-isu global.
Setelah paparan dari kedua narasumber selesai, peserta diberikan kesempatan untuk berdiskusi dengan para pembicara. Banyak isu menarik yang dipaparkan oleh peserta. Salah satunya adalah Mathias, seorang mahasiswa baru MPKD UGM yang berasal dari Papua. Ia mengingatkan pentingnya strategi kontekstualisasi NUA terutama pada wilayah dan kota yang ada di Papua yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan wilayah dan kota di Jawa. Heterogenitas wilayah dan kota di Indonesia, menurutnya, perlu menjadi pertimbangan dalam membuat panduan implementasi NUA di Indonesia.
Istiqomah dari Bengkulu, yang juga merupakan mahasiswa baru pada program MPKD konsentrasi permukiman berpendapat bahwa diperlukan upaya transfer pengetahuan yang harus dilakukan oleh Pemerintahan Pusat kepada Pemerintahan Daerah agar implementasi NUA dapat terlaksana dengan baik. Sebagai pihak yang bekerja pada tingkat Pemerintahan Daerah, Istiqomah mengingatkan bahwa perlu adanya upaya yang cukup serius agar target-target yang ingin dicapai oleh Pemerintah Pusat dapat diterima dan diterjemahkan dengan baik menjadi kebijakan pada level daerah sehingga implementasi di tingkat daerah pun dapat berjalan dengan lancar.