Kamis sore (31/03) lalu sebuah diskusi bertajuk “Urgensi Penerapan Tata Ruang Hijau di Yogyakarta” diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota (HMT PWK) Pramukya Arcapada. Emmy Yuniarti Rusadi, ST., M.Eng atau yang kerap disapa Mbak Emmy yang berkecimpung di dunia komunitas, penelitian, dan sociopreneur sekaligus Founder Actual Smile English Club (ASEC) Yogyakarta, dan Ibu Purbudi Wahyuni, Ketua Forsidas (Forum Komunikasi Daerah Aliran Sungai) Gajah Wong hadir untuk membersamai diskusi ini.
Acara yang di gelar di Tedjo Soeminto, Inner Court Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik UGM, diikuti oleh lebih dari 30 mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu. Diskusi diawali dengan penyampaian materi diskusi oleh Mbak Emmy. “Ruang Terbuka Hijau adalah hidup kita”, tegas Mbak Emmy mengawali diskusi. Bagi alumni mahasiswa program studi Perencanaan Wilayah dan Kota UGM ini, ruang terbuka hijau atau green open space sebenarnya tidak hanya melulu hijau dan identik dengan pohon-pohon atau bangunan dengan green roof, tetapi juga ruang yang juga mampu memfasilitasi kebutuhan hidup manusia.
Mbak Emmy lantas menyampaikan hasil risetnya yang menyatakan bahwa 30% lahan di Kota Yogyakarta tidak akan bisa dibuat green open space. Beliau kemudian mengbandingkan situasi ini dengan Negara Taiwan, tepatnya di Kota Taipei yang memiliki green open space lebih dari 40% dari total luas negara tersebut. Hal ini memimbulkan pertanyaan, mengapa Kota Yogyakarta tidak bisa lebih hijau? Di dalam risetnya, Mba Emmy membandingkan Kota Yogyakarta dengan Kota Batu, di Malang. Kota Malang kini sudah mampu mengevaluasi kekurangan dan sudah memulai apa yang harus dilakukan untuk menjadi lebih hijau.
Di tengah berjalannya diskusi, pembicara pertama diskusi ini juga menyampaikan bahwa green open space memiliki definisi yang berbeda dengan green space, “Kalau green open space definisinya adalah suatu tempat yang naturally hijau dan tidak ada unsur artificial. Green open space ini erat kaitannya dengan sungai. Sedangkan green space dapat digambarkan sebagai taman atau lapangan, suatu tempat yang hijau tapi hanya ada beberapa pohon di sana dan juga ada unsur artificial-nya misal bench”, tegasnya.
Dituturkan juga oleh Mbak Emmy bahwa pada dasarnya manusia mempunyai sisi destruktif, sehingga tak sedikit saat ini manusia menebang pohon tanpa merasa berdosa, tanpa berpikir juga bahwa ketika satu pohon ditebang, sama saja berhutang waktu 20 tahun untuk membesarkan pohon lain sebagai pengganti. Jelaslah bahwa membuat green open space membutuhkan proses, sehingga sebagai calon planner, mengutamakan keseimbangan ekologi merupakan suatu hal penting dalam merencanakan pembangunan. Sebagai seorang planner, kita juga harus mem-propose suatu plan yang futuristik dan jangan sampai menurangi derajat histori suatu tempat, serta berusaha untuk mensederhanakan bahasa ketika melakukan pendekatan dengan warga.
Upaya-upaya kecil perlu diterapkan mulai dari diri sendiri agar ke depannya generasi mendatang dapat merasakan hal yang sama seperti sekarang ini, sebab sesuatu yang besar berawal dari sesuatu yang kecil. “Sebagai mahasiswa jangan cuma nge-share tulisan-tulisan tetapi tidak melakukannya. Sebagai mahasiswa kita harus melakukan aksi, intinya mencoba dan keep practicing, coba budayakan kebiasaan menanam”, tuturnya.
Diskusi semakin menarik dengan dilanjutkannya penyampaian materi oleh pembicara kedua, Ibu Purbudi Wahyuni. Dosen program studi manajemen Fakultas Ekonomi UPN “Veteran” Yogyakarta ini mengedepankan suatu manajemen di sepanjang Sungai Gajah Wong dalam upaya nyengkuyung “Hamemayu Hayuning Bawono” salah satunya dengan gerakan M3K atau “mundur, munggah, madhep kali”.
Remang yang merambat ke Tedjo Suminto tak menurunkan antusias para peserta diskusi yang dibarengi dengan Ketua Forsidas Gajah Wong ini, terlebih saat beliau menyampaikan potensi-potensi yang dimiliki oleh Sungai Gajah Wong. Taman dan Kebun Binatang Gembira Loka, Sentra Industri Perak Kotagede, dan Museum Museum Affandi, adalah bagian dari sungai yang lekat dengan sejarah Kraton Mataram ini.
Sebagai seseorang yang mampu menghargai pemberian Tuhan, Ibu Purbudi tergerak hatinya untuk senantiasa mencintai dan menjaga Gajah Wong, bukan karena amanah yang diembannya, tetapi karena bagi beliau segala sesuatu yang baik itu harus dimulai dari diri sendiri. “Saya bisa saja tidak peduli terhadap masyarakat sekitar sungai kalau saya mau, tapi kan sebagai manusia yang sudah diberikan kelayakan kita harus turut mengupayakan bagi mereka yang masih kekurangan”, tuturnya. Beliau menyampaikan bahwa sebagai akibat dari adanya pembangunan yang menggunakan beton di DAS Gajah Wong, kini dari 44 mata air yang ada di sepanjang sungai hanya tinggal 24 mata air saja.
Berangkat dari permasalahan pelik semacam itulah, ketegasan Ibu Purbudi terus meningkat meskipun tak jarang menuai sambutan yang tak sesuai harapan seperti beberapa warga yang negatif thinking dan ngeyel. Namun beliau pun tak segan meladeni-nya dan berusaha meluruskan permasalahannya sebab semata-mata yang beliau lakukan adalah untuk kelayakan hidup mereka. Gerakan M3K terus digiatkan dan kabar baiknya kesadaran warga akan pentingnya menjaga kawasan bantaran sungai, sudah cukup tinggi. Mereka rela rumah mereka dikepras untuk antisipasi jika sewaktu-waktu datang banjir. “Saat ini warga kami sedang dalam keadaan yang kurang baik, karena Senin (28/03) malam kemarin Sungai Gajah Wong meluap dan 2 orang meninggal dunia”, ungkapnya iba.
Terkait dengan urgensi tata ruang hijau, beliau menyampaikan bahwa keberadaan green space dan green open space sangatlah krusial di Kota Yogyakarta ini terlebih di bantaran sungai. “Saya sangat mengapresiasi dengan kegiatan-kegiatan semacam ini. Saya sempat berpemikiran bahwa dengan potensi Kota Yogyakarta sebagai kota pelajar, bagaimana jika ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Jogja ini turut dilibatkan dalam membangun kawasan bantaran sungai yang baik, misal dengan kegiatan menanam pohon atau kegiatan pengabdian yaitu KKN”, tandasnya.
Menurut beliau, secara manajemen, kecintaan terhadap hijaunya lingkungan dapat ditumbuhkan dengan melestarikan tanaman-tanaman yang memiliki nilai ekonomis, misalnya pohon kluwih. “Pesan untuk menanam atau menjaga pohon kluwih, kalau bagi orang Jawa itu artinya agar “luwih/linuwih” atau berlebih,” jelasnya. Namun di sisi lain, pohon kluwih ini patut dijaga sebab pohon ini memiliki akar yang kuat, menembus, dan melekat pada tanah, sehingga mampu menahan air, dan berkat pemikiran yang kreatif, kluwih ini dapat dijadikan suatu karya inovatif, yaitu abon nabati. “Hal tersebut juga merupakan salah satu upaya men-support para warga agar kecintaannya terhadap lingkungan yang mereka tinggali terus meningkat dan berkelanjutan”, tuturnya mengakhiri diskusi.
Ditulis oleh ; Ervina Utami