
Yogyakarta, 29 Agustus 2025 – Program Studi Sarjana Perencanaan Wilayah dan Kota pada Jumat, 29 Agustus 2025 lalu menggelar sidang tugas akhir salah dua mahasiswa SPWK UGM secara terbuka dengan mengundang khalayak umum untuk secara bersama-sama dapat menyaksikan diseminasi hasil dua judul penelitian tugas akhir mahasiswa yang menjadikan Kota Yogyakarta sebagai fokus dan lokus penelitian tersebut.
Tajuk “Riset untuk Jogja” dimaknai sebagai wujud kontribusi PWK UGM untuk menghasilkan pengetahuan dan wawasan hingga memberikan rekomendasi terhadap kemajuan perkembangan dan pembangunan Kota Yogyakarta.
Sidang tugas akhir terbuka ini dilaksanakan secara bauran, terbuka untuk umum yang dapat diikuti secara daring via Zoom Meeting.
Sidang terbuka ini terdiri atas dua sesi dengan judul dan topik penelitian yang berbeda. Penelitian tugas akhir ini dibimbing oleh Dr. Eng. Ir. Muhammad Sani Roychansyah, S.T., M.Eng. Sidang terbuka ini menjadi istimewa sebab selain mengundang Prof. Ir. Bambang Hari Wibisono, MUP., M.Sc., Ph.D., yang merupakan Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota UGM, juga mendatangkan Dr. Danang Yulisaksono, S.T., M.T., Kepala Bidang Riset Inovasi Daerah dan Pengendalian BAPPEDA Kota Yogyakarta sebagai penguji.
Perlindungan Kawasan Cagar Budaya Sumbu Filosofi Yogyakarta Terhadap Perubahan Iklim dengan Pendekatan Low Emission Zone
Sesi pertama pada pukul 08.00 – 10.00 WIB, dimulai dengan yakni sidang tugas akhir Olivia Muthia Hanicka Dhiya Ul-Haq yang membawakan penelitian berjudul “Perlindungan Kawasan Cagar Budaya Sumbu Filosofi Yogyakarta Terhadap Perubahan Iklim dengan Pendekatan Low Emission Zone“.
Olivia atau yang akrab disapa dengan oliv memaparkan latar belakang dari penelitiannya. Perubahan iklim merupakan tantangan global yang berdampak pada berbagai aspek kehidupan, termasuk pada pelestarian warisan budaya. Dalam konteks ini, perlindungan kawasan cagar budaya menjadi vital, bukan hanya karena nilainya secara historis dan identitas kota, tetapi juga karena kerentanannya terhadap tekanan lingkungan, seperti polusi udara, kenaikan suhu, dan intensitas aktivitas manusia.
Indonesia telah menegaskan komitmennya melalui Undang-Undang No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement, yang menjadi dasar upaya nasional mencapai target Net Zero Emission pada tahun 2060. Komitmen ini juga tercermin di tingkat daerah, salah satunya melalui Pergub DIY No. 2 Tahun 2024 yang mengatur pengelolaan Sumbu Filosofi Yogyakarta dengan menekankan pengurangan tekanan lingkungan, terutama kemacetan dan polusi udara sebagai bagian dari upaya menjaga nilai universal kawasan yang diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia.
Sumbu Filosofi bukan hanya representasi nilai budaya dan filosofi kota Yogyakarta, melainkan juga ruang hidup yang sensitif terhadap perubahan dan tekanan aktivitas perkotaan. Penelitian ini merangkai bagaimana intervensi mobilitas kawasan dapat berfungsi ganda: melindungi kawasan cagar budaya sekaligus mendukung target Net Zero Emission 2060. Pendekatan Low Emission Zone (LEZ) dieksplorasi sebagai instrumen kebijakan yang mampu mengurangi emisi sekaligus melindungi nilai-nilai budaya yang terkandung dalam Sumbu Filosofi.
Oliv dalam melakukan penelitiannya menggunakan integrasi metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dan Weighted Overlay menggunakan aplikasi GIS, penelitian ini mengidentifikasi lima alternatif kawasan potensial penerapan LEZ dalam berbagai skala, mulai dari neighborhood hingga city-wide. Yang kemudian dari 5 alternatif menghasilkan 3 skenario prioritas, yaitu Malioboro Zero Emission Zone, Sumbu Filosofi Protection Zone, dan Tugu–Kraton Parking Control Zone.
Melalui penelitian ini, penerapan kebijakan Low Emission Zone tidak hanya dipahami sebagai pembatasan kendaraan, tetapi sebagai upaya transisi menuju sistem transportasi yang lebih berkelanjutan, mendorong penggunaan transportasi publik, memprioritaskan pejalan kaki dan pesepeda, menghidupkan kembali transportasi non-motor tradisional seperti becak dan delman, serta mempercepat elektrifikasi kendaraan.
Dengan demikian, Low Emission Zone bukanlah upaya membatasi pergerakan, melainkan mentransisikan kota menuju mobilitas yang lebih bersih, sehat, dan terhubung. Pendekatan yang adaptif dan terintegrasi menjadi kunci agar kebijakan ini dapat diterapkan secara berkelanjutan, saling melengkapi antara skenario, regulasi, dan sarana pendukungnya.
Oliv berharap hasil penelitian ini dapat menjadi pendukung strategi untuk memperkuat sinergi antara pelestarian budaya dan keberlanjutan lingkungan, menjadikan Yogyakarta sebagai contoh kota yang tidak hanya menjaga warisan sejarahnya, tetapi juga berkomitmen pada masa depan yang rendah emisi.
Kesiapan Kota Yogyakarta Sebagai Eventful City
Sesi kedua pada pukul 10.00 – 12.00 WIB dilanjutkan oleh penelitian kedua yang dibawakan oleh Raissa Ludmila Bagja berjudul “Kesiapan Kota Yogyakarta Sebagai Eventful City“.
Raissa menyampaikan bahwa seperti yang kita ketahui sebagai kota seni dan kota budaya, Yogyakarta tidak pernah kehabisan perayaan. Dari tradisi turun temurun seperti grebeg hingga yang sifatnya kontemporer seperti festival film, semuanya telah eksis berdampingan dan berkontribusi dalam menciptakan kehidupan kota yang meriah. Di awal tahun 2024, Pemerintah Kota Yogyakarta mencanangkan agenda rebranding kota dengan tagline “City of Festivals” atau Kota Festival. Dari situ, ia kemudian tertarik untuk meneliti lebih jauh, utamanya dengan menggunakan kacamata ke-PWK-an. Dalam penelitian ini digunakan konsep “Eventful City” (Richards & Palmer, 2010), yaitu pendekatan yang melihat penyelenggaraan event sebagai alat untuk pengembangan kota, baik secara ekonomi, sosial, maupun kultural. Melalui kerangka ini, Raissa mencoba memetakan kesiapan Yogyakarta dalam memanfaatkan event sebagai motor pembangunan kota.
Raissa melakukan penelitian ini dengan menyebarkan kuesioner kepada dua kelompok utama, yaitu pelaku event dan masyarakat umum, untuk menjaring persepsi mereka tentang penyelenggaraan event di Yogyakarta. Hasil kuesioner ini kemudian dianalisis untuk mengukur tingkat kesiapan kota. Selain melalui kuesioner, penelitian juga diperdalam dengan wawancara terhadap sejumlah aktor kunci seperti perwakilan Dinas Pariwisata, Bappeda Kota, pelaku industri kreatif, serta organisasi Jogja Festivals yang berperan aktif dalam ekosistem event di Kota Yogyakarta. Melalui serangkaian analisis yang dilakukan, didapatkan hasil bahwa Kota Yogyakarta menunjukkan posisi siap dalam kerangka eventful city. Namun, karena proses pengembangannya masih berada di tahap awal, menurut Raissa fokus utama saat ini sebaiknya diarahkan pada aspek tata kelola event.
Pengembangan infrastruktur pendukung seperti venue, transportasi publik, dan sistem pengelolaan limbah perlu diintegrasikan ke dalam rencana tata ruang dan kebijakan pembangunan kota agar penyelenggaraan event dapat berlangsung secara berkelanjutan dan inklusif. Di sisi kelembagaan, pemerintah perlu berperan bukan hanya sebagai regulator, tetapi juga fasilitator yang menjamin tata kelola event berjalan dengan baik melalui penguatan kapasitas sumber daya manusia, koordinasi antar instansi, serta kemitraan dengan komunitas dan sektor swasta. Dengan demikian, strategi pengembangan ekosistem event dapat berkontribusi pada pembentukan citra Yogyakarta sebagai City of Festival, memperkuat ekonomi kreatif lokal, serta menjadikan perencanaan kota lebih adaptif terhadap dinamika budaya dan sosial masyarakatnya.
Raissa menyampaikan refleksi dan komentar kritisnya bahwa Kota Yogyakarta memiliki begitu banyak kekuatan dan potensi dalam penyelenggaraan event utamanya dari komunitas yang tumbuh erat di balik terselenggaranya berbagai event meriah setiap tahunnya. Ke depan, event dan festival berpotensi menjadi faktor pendorong penting dalam pengembangan kota dari berbagai aspek. Pemerintah memegang peran besar untuk memastikan hal-hal tersebut dapat terwujud. Kota Yogyakarta dapat menjadi pelopor bagi kota-kota lain di Indonesia dalam mewujudkan konsep eventful city, menjadikan event sebagai kekuatan penggerak pembangunan yang berkelanjutan.
Kebermanfaatan untuk Jogja
Model ujian ini disambut dengan baik oleh para penguji dan pihak-pihak yang berpartisipasi. Diskusi terkait topik yang diangkat menjadi sangat menarik. Temuan-temuan penelitian tidak hanya menjadi wacana saja tetapi melalui kegiatan ini dapat menjadi masukan alternatif bagi pemerintah kota dalam upaya perencanaan dan pembangunan. Sidang terbuka ini sekaligus menjadi ruang kolaborasi antara dunia akademik dan kebijakan.
Sidang tugas akhir terbuka ini relevan dengan beberapa SDGs di antaranya SDG 4 (Quality Education), SDG 7 (Affordable and Clean Energy), SDG 8 (Decent Work and Economic Growth), SDG 9 (Industry, Innovation, and Infrastructure), SDG 10 (Reduced Inequalities), SDG 11 (Sustainable Cities and Communities), SDG 12 (Responsible Consumption and Production), SDG 13 (Climate Action), SDG 15 (Life on Land), dan SDG 17 (Partnership for The Goals).